sumber |
Jaranan,
jaranan, jarané jaran Tèji ... Sing numpak Mas Ngabèhi, sing
ngiring para abdi ... Jrèk jrèk nong, Jrèk jrèk gung, Jrèk è
jrèk turut lurung ... Gedebuk krincing (2x) ... Thok thok ...
Gedebuk jedhèr
Angguk-angguk.
Geleng-geleng. Tak sadar kepalaku bergerak kecil mengikuti alunan
lagu jaranan ini. Tentu sajalah, sudah tiga belas tahun aku tak
menonton kesenian tari jaranan—disebut juga kuda lumping! Tidak
peduli matahari sedang terik menebar panasnya, toh, di atasku ada
juluran ranting-ranting kokoh beringin tua kompleks punden desaku
ini. Pun aku dan ratusan penonton kesenian ini, tidak merasakan
sedikit saja aura mistis. Padahal asal kalian tahu, di sebelah utara
persis punden, ada permakaman leluhur pembabat alas desa kami. Dan
alasan kami semua berkumpul di sini, menonton pertunjukan jaranan
dalam rangka memperingati acara tahunan bersih desa pada bulan Suro1
begini.
Tapi ... satu saja
yang membuatku (cukup) sumpek.
“Kamu yakin
kesenian ini asli dari Kediri?” tanya si Raksasa Botak—badannya
menjulang mencolok di antara seluruh penonton yang hadir, ditambah
kepala plontos kinclong—setengah berteriak. Bicaranya cukup lancar
tapi masih berlogat daerah asalnya.