Topi untuk Denny
Sudah terhitung delapan bulan
sampai sekarang, Ami cinta mati sama seniornya bernama Denny. Walaupun nggak
secakep Denny Sumargo tapi kharismanya jadi ketua BEM fakultas Ami kuliah,
bikin hati para kaum hawa kebat-kebit. Walau Ami termasuk di dalamnya namun ia
tak seberani cewek-cewek lain untuk pedekate. Teman untuk jadi mak comblang aja
dia nggak punya.
“Kalau
kamu diem terus, nanti Denny melayang kayak cowok lain yang kamu incer lo!”
kata Fima, sahabat Ami.
“Masa’
aku nyamperin duluan?” tanya Ami ragu.
“Why
not?” balas Fima.
“Tapi,
aku takut dia berpikir aku cewek ganjen,” timpal Ami.
“Hello…ini
zaman sudah super duper maju. Sudah nggak ada lagi cewek cuman duduk manis dan
menunggu ada pinangan cowok. Cewek punya hak untuk mencari dan memilih. Mau
kamu jadi perawan tua kalau diem terus???” cerocos Fima, Ami menggeleng kuat.
“Makanya,
jemput pangeran kamu di “pintu gerbang”!” tambah Fima.
“Apa
aku harus nurutin sarannya Fima, ya? Lagipula tak ada salahnya kalau memulai
dengan pertemanan?” gumam Ami di dalam kamar sambil melototin hapenya setelah
sebelumnya ia terngiang dengan percakapannya dengan Fima tempo hari.
Ami
memulai saran Fima untuk pedekate pada Denny. Tanpa berbohong siapa dirinya, ia
mengajak Denny berkenalan lewat facebook dan SMS. Denny membalasnya dengan
perlakuan yang baik tapi itu hanya di dunia maya. Di dunia sebenarnya, mereka
tak saling sapa. Trik pedekate kucing-kucingan ini berjalan beberapa minggu
yang pada mulanya baik-baik saja. Tapi, hingga suatu saat komunikasi lewat
dunia maya ini terhenti begitu saja. Tak pernah ada balasan wall dan SMS dari
Denny untuk Ami. Untuk sementara, Ami berpikir mungkin Denny tengah sibuk
dengan organisasinya yang sedang menghadapi event-event besar fakultas. Tapi
untuk selanjutnya, Ami berubah pikiran. Denny pasti sebal padaku.
“Nggak
mungkinlah mas Denny begitu! Mungkin dia emang sudah bosan kalau terus
berkomunikasi lewat dunia maya. Sudah waktunya kamu show up, girl!” tutur Fima
saat Ami menyatakan bahwa Denny pasti sudah berpikiran dia cewek agresif dan
sok kenal, sok dekat.
“Aku
masih belum berani nyapa langsung, Fim,” kata Ami.
“Mau
sampai kapan menunda cinta?” tanya Fima.
“Aku
malu,” jawab Ami.
“Masalah
BB alias berat badan lagi? Tampang nggak kece? Adeeeuuuuhhhh..plis ya…malu dong
sama umur kalau terus nggak pede. Kamu itu sudah remaja akhir yang harusnya
mulai menemukan jati diri. Kaya aku dong, pede-pede aja dengan kulit item dan
rambut kribo. Jadinya kayak Shania. Cintai aku lagi…seperti waktu itu…tak bisa
kuhindari…hati selalu merindu,” cerocos Fima dengan lagu penutup dari Sania,
Cintai Aku Lagi.
“Nglawak
aja kamu!” kata Ami sambil menyemburkan air minumnya dengan sedotan ke muka
Fima.
Usai
mengisi perut di kantin, Ami dan Fima segera pergi mencari topi buat Denny yang
tiga hari lagi ulang tahun ke-21. Merupakan ciri khas ketua BEM satu ini,
memakai topi dimanapun dan kapanpun. Makanya, Ami berniat menghadiahinya topi.
Sekaligus terbesit pemikiran Ami untuk memberikan kadonya sendiri pada hari H
Denny berulang tahun.
ÞÞÞ
“Ini
aja Fim, warnanya cerah. Mas Denny kan, putih bersih,” kata Ami menunjukkan
sebuah topi berwarna merah cerah pada Fima.
“Eh,
jangan! Yang gelapan dikit, yang netral. Masa badan warna cerah kasih aksesoris
cerah? Kalau sudah cerah kasih dong yang gelapan. Biar match, adil gitu
ceritanya,” kata Fima. Dan akhirnya Ami mengiyakan kata sahabatnya.
Saat
asyik melihat-lihat barang di toko mereka berada, tiba-tiba tak sengaja Fima
menabrak seorang cowok dan itu Denny! Kebetulan banget. Hati Ami spontan
deg-degan bukan main. Dia berusaha mengalihkan pandangannya.
“Hai,
mas Denny! Kebetulan banget yah, ketemu di sini,” kata Fima sambil menyenggol
Ami yang tak mau bertatap muka dengan Denny.
“Iya,
kebetulan banget, yah? Ngapain?” tanya Denny balik.
“Ini
cari…” belum selesai Fima menyatakan sesuatu, Ami menginjak kaki Fima.
“Aduh!
Oh, cari syal tapi nggak ketemu. Ya, sudah, kalau begitu, kami pulang dulu, ya?
Mari,” kata Fima sambil menyeret Ami.
“Fim,
jangan lupa, Jum’at datang ke rumah. Ada syukuran kecil-kecilan,” teriak Denny
kala Fima sudah agak jauh berjalan. Fima hanya cengengas-cengenges mengacungkan
jempol tanda ‘iya’ dari kejauhan.
…
“Kok,
kamu nggak pernah cerita kalau keluargamu dan keluarga mas Denny kenal deket?”
tanya Ami penuh selidik.
“Heheheh…maaf!
Kamu nggak tanya, sih!” jawab Fima nyengir kuda. Ami membalasnya dengan bibir manyun.
“Ah,
sudahlah! Yang terpenting adalah tadi dia curi…curi-curi pandang sama kamu!”
sambung Fima sambil bernyanyi lagu Naif, Curi-curi Pandang dan
mengerling-ngerlingkan matanya pada Ami. Ami pun tersipu.
“Tanda
bagus , tuh!” tambah Fima.
“Mudah-mudahan.
Tapi aku masih takut nyapa dia,” kata Ami.
“Tenang,
ada Fima gitu loh!” balas Fima sok superhero.
ÞÞÞ
Malam
tasyakuran ulang tahun Denny datang juga. Ami yang sengaja diajak Fima datang
memilih tinggal di rumah karena sejak tadi siang ia merasa asmanya sedikit
kambuh. Mungkin kelelahan karena kemarin dia sibuk menebar poster seminar ke
beberapa tempat di Surabaya. Ia pun menitipkan kado buat Denny pada Fima. Malam
itu, Ami hanya berdua dengan pembantunya karena orang tuanya pergi ke Bandung
menjenguk neneknya yang sakit. Tapi bukannya si pembantu, bi Sumi menungguinya
eh, justru pacaran sama satpam rumah sebelah. Dan sialnya saat malam semakin
membawa udara dingin yang menusuk, Ami tak dapat lagi menahan asmanya yang
kambuh. Tersungkurlah dia di lantai kamarnya.
…
“Malam
ini adalah malam paling berbahagia bagi keluarga kami karena anak kami, Denny
Fajar Sumargono dan Fima Arisanti akan bertunangan malam ini bersamaan dengan
ulang tahun Denny,” tutur ayah Denny yang disambut gemuruh tepuk tangan para
hadirin yang datang. Rona kebahagiaan juga terpancar dari wajah Denny dan Fima.
…
“Kenapa
kamu tega nyakitin aku, Fim?” gumam Ami dalam ketidaksadarannya. Ia pingsan
untuk beberapa waktu. Untung bi Sumi langsung tahu kalau Ami pingsan dan
langsung menelepon dokter keluarga Ami dan Fima.
“Ami,
Ami, Ami…ini aku, Fima,” kata Fima khawatir.
Lalu
Ami pun sadar. Ia melihat banyak orang di sekitarnya. Kedua orang tua Fima,
Fima, dokter Fadli dan Denny.
“Kenapa
semuanya ada di sini?” tanya Ami yang masih linglung.
“Kamu
itu bodoh banget, sih! Sudah tahu asmanya agak kambuh dari tadi siang kok nggak
check up? Kita kan, khawatir,” omel Fima.
“Kan,
sudah ada obatnya, Fim,” timpal Ami.
“Tapi,
kalau sudah pingsan gini? Susah juga, kan?” balas Fima.
“Maaf
buat semuanya jadi nyusahin dan ngebatalin acara pertunangan Fima dan mas
Denny,” kata Ami sembari tertunduk kepalanya.
Tiba-tiba
Fima tertawa disambut senyum semuanya.
“Ada
yang salah?” tanya Ami mengangkat kepalanya.
“Tunangan
apaan?? Wah, ini nih, efek cinta terpendam. Makanya to neng,neng, kalau cinta
ungkapin aja! Ini sudah ada orangnya,” kata Fima sambil mendorong Denny lebih
dekat dengan Ami. Kemudian semua orang keluar.
Suasana
hening sejenak karena baik Denny maupun Ami masih kikuk.
“Thanks
ya topinya. Bagus,” celetuk Denny memecah kebisuan sambil menyentuh topi yang
dipakainya yang merupakan kado dari Ami.
“Sama-sama,”
balas Ami.
“Kenapa
kamu nggak pernah nyamperin aku di kampus?” tanya Denny membuat tenggorokan Ami
tercekat. Ia tak tahu harus beralasan apa.
“Aku…aku…aku
takut aja mas Denny cuek,” jawab Ami terbata-bata.
“Mana
mungkin aku cuek sama orang yang selama ini peduli sama aku?” kata Denny
tersenyum.
“Boleh
aku duduk deket kamu?” tanya Denny disambut anggukan Ami.
“Boleh
megang tangannya?” tanya Denny lagi. Dengan tersipu malu Ami mengiyakan.
“Aku
minta maaf kalau beberapa waktu terakhir ini aku nggak pernah bales SMS kamu.
Sengaja. Aku pengen membuktikan apakah kamu akan terus berjuang untukku dan
nyamperin aku langsung. Aku nggak mau hubungan kita cuman di dunia maya karena
aku sudah nyaman denganmu. Aku ingin semuanya lebih dari yang sudah kita
jalani,” tutur Denny. Ami terdiam
“Dengerin
aku baik-baik karena aku nggak akan mengulanginya! Aku-cinta-kamu,” kata maut
keluar dari mulut Denny. Mengingat cerita Fima tentang Denny yang sulit jatuh
cinta, sudah bisa dipastikan Denny serius dengan ucapannya. Tanpa pikir
panjang, Ami langsung mengiyakan ucapan Denny sebagai tanda ia menerima cinta
Denny.
“Non,
bibi minta maaf sekali sudah ninggalin non Ami! Maafin bibi, ya? Jangan kasih
tahu bapak sama ibu!” pinta bi Sumi sambil nangis-nangis asal masuk kamar Ami.
Ami dan Denny tak menggubrisnya karena Denny tengah hikmat mengecup kening Ami.
Bi Sumi yang kemudian menyadarinya bergumam, ”Andai bang Sapri begitu sama
saya…terasa indah dunia,”, tiba-tiba Fima menarik bi Sumi keluar dengan paksa.
“Gangguin
orang pacaran aja,” kata Fima.
“Kan,
bibi pengen juga kayak non Ami,” kata bi Sumi.
“Ngayal
aja kerjaannya!” kata Fima ketus.
ÞÞÞ