Cinderella Kesiangan
Jam di tangan Mira
menunjuk pukul sembilan malam. Larut memang, tapi Mira masih berada di
perjalanan menuju pulang ke rumah. Ia baru saja pulang memberi les privat pada
seorang siswa SMP.
Mira
pulang jalan kaki menuju kostnya. Membutuhkan waktu dua puluh menit untuk
sampai kostnya. Ketika sedang santai berjalan, tiba-tiba ada segerombolan orang
yang berlari-lari menuju ke arahnya sambil berteriak,”COPET! COPET!”. Dan salah
satu dari mereka yang ada di barisan paling depan -nampaknya orang itu yang
menjadi sasaran pengejaran- menabrak Mira dan menyerahkan sebuah dompet dengan
paksa padanya. Mira bingung. Si pencopet lolos, Mira yang jadi tersangka.
Sekuat
tenaga Mira mengelak tapi orang-orang tak percaya. Hingga Mira digiring ke pos
satpam terdekat.
”Maling
mana ada yang mau ngaku?!” seru si empunya dompet.
“Mas
ganteng, harusnya mas dan semua yang ada di sini jeli dan inget gimana
ciri-ciri pencopetnya. Dan harusnya mikir pakai otak, mustahil dong, kalau saya
pencopetnya terus ketangkep basah mau nyerah gitu aja. Tolol itu namanya!”
jelas Mira membela diri.
Suasana
riuh menuduh Mira bersilat lidah. Kemudian pak satpam meminta Mira menunjukkan
kartu identitasnya. Dikeluarkanlah Kartu Tanda Mahasiswanya.
“Mbak ini
kan, mahasiswa universitas ternama, jadi ngaku sajalah kalau berbuat salah.
Kita bisa bertindak halus kalau mbak mau ngaku, tapi kalau nggak urusannya tambah ribet,” kata si satpam.
“SAYA
BUKAN PENCOPET!!!” teriak Mira.
“Ehm…gini
pak, kita selesaikan dengan cara damai. Saya juga nggak punya banyak waktu ngurusin hal kayak gini. Biarin pencopet
kelas teri ini lepas, yang penting dompet saya balik,” tutur si empunya dompet
berubah pikiran yang awalnya ngeyel pengen Mira diadili secara hukum sekarang
‘melepaskan’ Mira begitu saja.
“Saya
bukan copet! Budeg ya?!” cela Mira.
Akhirnya
perkara selesai. Mira pulang dengan muka sebal. Pengen nangis rasanya karena
baru sekali ini dalam seumur hidup dia dituduh mencopet padahal bukan dia
pelakunya.
ÿÿÿ
“Kenapa
muka kamu ditekuk-tekuk gitu?” tanya Ony, sahabat Mira yang juga teman satu
kostnya.
“Sial
bener nasibku tadi malam. Masa’ aku dituduh mencopet?” dumel Mira.
“HAH?!
Gimana ceritanya?” tanya Ony penasaran. Dan Mira pun mulai bercerita panjang
lebar tentang kejadian semalam.
“Hehehe…lagi
apes aja kamu, Mira! O, iya, lusa jangan lupa ketemu direktur operator seluler
‘Sinyal Lancar Terus’ buat ngajuin proposal dana acara festival pendidikan dan
kebudayaan kita dua bulan lagi,” jelas Ony.
“Kok,
aku?”
“Kan,
ketua kamu terkapar di rumah sakit. Jadi, kamu sebagai wakil yang harus
mewakili. So, jangan banyak bicara!”
“Iya,”
sahut Mira berat hati.
Usai
mengisi perut yang tak diisinya sejak pagi, Mira dan Ony siap mengikuti kuliah
Asas-asas Manajemen atau Asmen. Saat asyik ngobrol dengan Ony, datanglah dosen
baru yang beberapa hari terakhir banyak diperbincangkan para mahasiswi,
m-a-h-a-s-i-s-w-i. Kenapa? Karena menurut kasak-kusuk yang beredar, dosen muda
baru ini, kerennya minta ampun. Vino G Sebastian lewat.
Si dosen
masuk dengan menebar senyum pada seluruh penghuni kelas dan saat pandangannya
jatuh pada satu orang di kelas itu, senyumnya spontan musnah.
“Selamat
siang, Saudara-saudara?” sapa si dosen.
“Siang…”
sahut seisi kelas termasuk Mira yang ikut bersuara dengan malas, padahal
mahasiswi yang lain terkagum-kagum melihat dosen itu.
Dia sibuk
membenahi tali sepatunya dan saat kembali ke posisi duduk semula, Mira
ternganga melihat siapa dosen barunya.
“Mampus
riwayat gue,” gumam Mira.
“Kenapa?”
tanya Ony sambil menyenggol Mira.
“Ah, nggak apa,” jawab Mira nyengir kuda.
Si dosen
mulai memperkenalkan diri kemudian mengabsen satu persatu mahasiswa yang ada.
Dan tibalah Mira dipanggil.
“Mira
Arumitasari,” panggil si dosen yang bernama Wendha.
“Iya,
saya!” sahut Mira tak ramah. Wendha hanya tersenyum sinis.
ÿÿÿ
Mira
telah menunggu selama lebih dari dua jam untuk bertemu direktur utama sebuah
operator seluler ternama di Indonesia. Mira nyaris menyerah tapi justru di
puncak keputusasaannya itu yang bersangkutan datang dari meetingnya di luar
kota. Kemudian Mira bergegas menemui orang tersebut tapi sial, ternyata orang
yang harus dihadapinya adalah orang yang bermasalah dengan dirinya beberapa
hari terakhir ini. Mulanya Mira berniat undur diri saja tapi mana sopan.
Akhirnya dengan berat hati, Mira memasang tampang ramah di depan dirut
perusahaan operator selular yang tajir itu.
“Siang,
Pak!”
“Siang.
Silakan duduk! Ada perlu apa?” tanya si dirut secara beruntut. Ternyata dirut
itu adalah Wendha, dosen barunya. Mira pun mulai menjelaskan maksudnya
bertandang ke kantor Wendha.
Sejenak
setelah membaca proposal dari Mira….
“Proposal
macam apa ini??!! Anggaran dananya saja nggak
rasional! Nama saya saja salah ketik. Becus nggak
sih, kalian kerja? Niat nggak??!!”
bentak Wendha sembari melemparkan proposal ke arah Mira.
Mira
memendam amarah yang tak kalah hebat. Dengan berat hati, kata maaf meluncur
dari mulut Mira. Kemudian Mira pamit pulang.
ÿÿÿ
Hidup
Mira terasa di neraka saat kuliah semenjak Wendha mengajar di kelasnya. Nyaris
setiap hari ia bertemu dengan Wendha dengan segala triknya untuk bisa
menjatuhkan Mira. Semuanya membuat Mira stress, belum lagi persoalan tugas
kuliah yang kian hari kian menumpuk. Alhasil, asmanya kambuh dan terpaksa ia
dirawat di rumah sakit. Saat terbaring lemah di rumah sakit, datanglah Wendha
dengan tampang sok perhatian.
“Ngapain
bapak ke sini?” tanya Mira ketus.
“Ternyata
wonderwoman bisa sakit juga,” sahut
Wendha.
“Wonderwoman bisa sakit kalau dipukul
tangan besi!” timpal Mira dengan menyebut panggilannya untuk Wendha.
“Sudah
jadi kewajiban saya sebagai dosen mengarahkan mahasiswa saya menjadi lebih
disiplin. Terserah kamu, stay di
kelas saya atau keluar. Mudah kan?” jelas Wendha.
Mudah
apanya? Sama-sama nggak menguntungkan
buat gue!
“Ke
poinnya aja deh, Pak! Bapak mau apa ke sini? Bapak tuh, kerjaannya selain jadi
dosen dan dirut perusahaan ternyata suka bikin apes saya!” tuduh Mira.
“Saya nggak bikin kamu apes!” elak Wendha.
“Kamu aja
ke-geer-an!” tambah Wendha.
“APA??!!
Saya geer sama bapak? Untungngnya nggak ada,”
“Nilai
Asas Manajemenmu E!”
Mira diam
sejenak ingin merengek agar Wendha tak melakukan itu tapi gengsi dong.
“Barusan
bapak bikin saya apes! Bapak itu maunya apa, sih? Masalah dompet tempo hari?
Saya sudah bilang kan, saya bukan pencopet. Atau masalah proposal yang nggak bener? Iya, itu memang salah saya.
Atau masalah baju bapak saya tumpahi kuah bakso lusa kemarin? Itu salah bapak
sendiri, jalan nggak pakai mata!”
todong Mira dengan berbagai pertanyaan.
“Kamu nggak pernah berubah, ya dari dulu.
Tetap Mira yang mudah marah dan volume
suara yang nggak bisa pelan.
Cinderella kesiangan,” kata Wendha mengagetkan Mira. Mira mengobrak-abrik
memori otaknya dengan paksa, segera. Hanya Arman, masa lalunya yang
memanggilnya begitu.
“Kenapa,
cinderella kesiangan?” tanya Wendha sekali lagi yang menyadari Mira tengah
bengong.
Jangan-jangan
dia mas Arman gembulku dulu.
“Nih!”
kata Arman memerlihatkan bekas luka akibat pecahan kaca di leher bagian
belakang.
“Mas
Arman??!!” seru Mira bahagia lalu memeluk Wendha alias Arman.
“Aku
kangen sama mas Arman,” tambah Mira.
“Apalagi
aku,” sahut Wendha.
Keduanya
melepas rindu dan saling berbagi cerita setelah nyaris lima belas tahun
berpisah begitu saja. Dan mereka menghabiskan waktu berdua untuk selanjutnya.
ÿÿÿ
“Jangan capek-capek!” nasihat Wendha saat Mira
sibuk menjadi panitia festival pendidikan dan kebudayaan.
“Siipp,”
sahut Mira mengacungkan jempolnya.
Keromantisan
mereka semakin terlihat saat Wendha bersama band yang beranggotakan dosen-dosen
muda yang lain menyanyikan lagu milik Numata yang berjudul Pesona. Lagu itu
jelas-jelas ditujukan pada Mira, membuat Mira malu setengah mati di hadapan
teman dan para dosennya yang lain. Semenjak itu, kisah cinta mereka berdua bak
dongeng di dunia Cinderella bersepatu kaca. Tapi…Cinderella kesiangan!
…
“BYYUUURRRR….!!!”
suara guyuran air membasahi tubuh Mira yang tengah pulas tidur.
“HUAAAA….!!”
Teriak Mira bangun kelabakan.
“Ony,
tega banget, sih?” keluh Mira.
“Gimana nggak tega kalau kamu setengah jam lagi
harus konsultasi proposal penelitian sama pak Wendha! Molor mulu!” omel Ony.
“Aduuh,
kenapa sih, gue selalu berurusan sama dosen baru sialan itu? Nggak kuliah, nggak permintaan dana festival, nggak
proposal penelitian. Adeuh…bisa-bisa asma gue kambuh karena kelakuannya yang
aneh-aneh. Hhhrrrggghhh….,” omel Mira.
Ternyata
cuma mimpi. Dia bukan mas Arman.
Ony memercikkan
air ke muka Mira karena ia menyadari Mira tengah melamun.
“Mandi,
cepetan!” suruh Ony.
“Iya,
iya, mandi!” sahut Mira sambil beranjak dari tempat tidur.
ÿÿÿ